Misteri Google

Table of Contents

 Fiksi Misteri_Penginapan_di_Tengah_Hutan Part 4



Ketika sedang makan, bus juga terlihat singgah di perbatasan. Penumpang turun satu persatu. Ada yang numpang ke toilet ada juga yang masuk langsung ke dalam rumah makan. 


Kami mempercepat menghabiskan makanan yang telah kami pesan agar bisa segera meninggalkan perbatasan sebelum malam semakin larut. Setelah selesai makan dan membayar kami segera menuju parkiran. Saat kami sudah bersiap naik ke dalam mobil, Mas Heri terlihat berbincang sebentar dengan sopir bus.


"Kata sopir bus, tiga kilo dari sini kita sudah ketemu rumah penduduk, Dik." tutur Mas Heri saat sudah masuk ke dalam mobil. 


"Syukurlah, Mas. Mana gelap banget dan sepertinya mendung. Semoga aja nggak turun hujan, Mas,"


"Semoga, Dik."


Mas Heri menarik tuas mobil dan mulai melaju meninggalkan perbatasan. Sebenarnya ada kekhawatiran untuk meneruskan perjalanan. Kami belum tau medan, ditambah gelap gulita tanpa penerangan. Namun, bertahan di perbatasan rasanya juga tidak memungkinkan karena tidak adanya penginapan. 


Pelan mobil mulai menapaki jalan yang di sisi kanan kirinya mulai di dominasi hutan. Jalanan masih sama, naik turun dan berkelok. Semakin jauh meninggalkan perbatasan, semakin gelap, sunyi dan sepi. Ditambah hujan juga mulai turun. Hanya lampu sorot dari mobil satu-satunya sebagai penerang. Aku merapatkan switer yang aku pakai. AC di dalam mobil membuatku kedinginan. Aku menoleh ke belakang. Kedua anakku tampaknya sudah tertidur lelap, mungkin karena kecapekan. 


Setelah melewati beberapa kilo meter aku melihat ada sebuah rumah di tepi jalan. Rumah kayu dan sepertinya ada kehidupan disana, terlihat dari bola lampu listrik yang menyala. Aku mulai tenang, berpikir nanti pasti akan menemukan kembali rumah-rumah penduduk meski jaraknya berjauhan. 


Namun, semakin jauh, aku tidak lagi melihat adanya rumah penduduk, hujan semakin deras, beberapa kali Mas Heri juga harus ngerem mendadak karena ada ba** yang menyebrang. Di jalan hanya mobil kami yang melintas. Benar-benar mencekam, ditambah ranting pohon-pohon besar di sisi kanan dan kiri hutan seakan mengulur ingin menerkam, membuat sekujur tubuhku merinding ketakutan. Aku lirik Mas Heri, dia fokus ke jalan. Aku berusaha tidak mengantuk agar bisa menemaninya menyopir. Lagi pula, keadaannya memang tidak bisa membuat mataku mengantuk sedikitpun. 


Saat melewati jalan menurun Mas Heri berhenti mendadak. 


"Mas_"


"Banjir, Dik!"


Aku dan Mas Heri melihat jalan di depan, di badan jalan yang rata, air tampak menggenang tinggi. 


Bersambung.

Posting Komentar