Notification texts go here Contact Us Buy Now!

under header

Postingan

Mertua Google

Adit Bro

 MEMILIH TINGGAL DI RUMAH ANGKER DARIPADA DI RUMAH MERTUA





Part 2

"Brarti para penghuni dapur, beneran usil, Mbak. Tadi pas aku naruh wajan di dinding, berasa ada yang lewat mondar-mandir, Mbak. Merinding sumpah!" Ikhsan mengusap-usap tengkuknya. 

"Bisa merinding juga kamu, San? Bukannya kamu hobi camping di atas gunung. Pake acara takut segala," gurauku melihat adikku yang memang tampak was-was ketakutan. 

"Kali ini penghuninya nakal, Mbak. Aku di kamar mandi takut diintip. Aku masih perjaka loh!"

"Iya, wes! Iya! Sekarang tidur sana!"

"Aku boleh tidur di kamar Aryan sama Haki nggak Mbak?" 

"Ya udah! Terserah kamu lah." 

"Ada sarung, Mbak?" tanyanya. 

"Iya, Mbak ambilin." 

Saat aku melangkah ke kamar ... 

Bughh! Salah satu dari tumpukan buku di laci sebelah lemari tiba-tiba jatuh ke lantai, padahal aku sudah meletakannya dengan rapi. 

Kuambil buku tebal di lantai itu, dan kembali kutaruh ke tempatnya semula, lalu membuka lemari, dan mengambil sarung yang diminta Ikhsan. 

Kututup pintu lemari, dan kembali melangkah ke ambang pintu kamar, "Ini, San." 

"Udah jam dua belas lebih ternyata, kok aku belum ngantuk ya."

"Mbak yang udah ngantuk, San." 

Saat aku kembali ke kamar, perasaan tadi pintu lemari sudah kututup. Namun, belum terkunci. Kenapa sekarang terbuka lagi? 

Aneh! 

.....

Seminggu lalu, waktu pertama kali aku menginjakkan kaki ke rumah mewah dua lantai ini, memang terasa seperti di ruang uji nyali. Bulu kudukku meremang sempurna, saat membuka pintu depan, padahal aku datang ke mari saat siang hari bersama Mas Akhyar, tanpa mengajak anak-anak. 
Mas Akhyar berulangkali menanyakan keputusanku, bahkan dia sudah berusaha meminjam kawannya untuk membayar sewa rumah, demi mencarikan kami tempat tinggal yang lebih nyaman. Namun, aku tak mau merepotkan suamiku yang sudah bekerja keras. Memang belum saatnya kami memiliki hunian, meski telah belasan tahun menikah. 

"Mas, Mbak. Kalau Mas sama Mbak mau tinggal di sini, monggo. Kami akan bersihkan semuanya, kami akan cat ulang biar kesannya nyaman, dan nggak sumpek lagi," ucap Pak Bismo, sepupu dari pemilik rumah ini, yang amat bahagia, tak menyangka ada yang bersedia tinggal di rumah berarsitek Eropa, yang dindingnya semula putih dipenuhi lumut hijau hingga catnya mengelupas di sana-sini. 
Sekeliling tampak suram, meski cahaya matahari nan terang menerangi bumi yang kupijak. 
Rumput liar, sudah tampak meninggi, mungkin berbulan-bulan tak dibersihkan. 

"Rumah ini, memang kosong, tapi masih sering dibersihin kok, Mas, Mbak," tambah Pak Bismo. 

Kami hanya mengangguk takzim. 

"Besok, sebelum Mas sama Mbak nempatin, rumah akan dicat, sama barang-barang yang ndak kepake bakal dibersihin. Nanti taman, sama halamannya bakal dibersihin total, supaya Mbak sama Mas nyaman nempatin." 

Mas Akhyar hanya mengangguk lagi tanpa sepatah kata balasan.  

"Iya, Pak. Sekali lagi, terima kasih. Sudah berbaik hati mengijinkan kami tinggal di sini," kataku pada Pak Bismo. 

"Kami yang harusnya berterima kasih, Mbak, Mas. Kalian sudah bersedia tinggal di rumah ini." 

Pak Bismo, menepati apa yang ia janjikan. Rumah yang semula tampak usang, serba putih yang catnya mulai memudar juga terkelupas di sana-sini telah dicat ulang dengan warna soft, yang kesannya elegan seperti rumah minimalis idaman yang kerap kujumpai di grup FB. 
Warna catnya diganti dengan warna cream, dipadu coklat muda, sementara pintu, daun pintu juga jendela, divernis hingga tampak glow. 

Perabotannya pun, yang semula tampak usang berdebu telah dibersihkan total, bahkan ada beberapa berabotan kuno, dipindahkan dan diganti dengan yang baru, dan kekinian. 
Saat kami memulai menempati rumah ini, semua tampak kinclong, hampir mirip seperti hotel, bukan rumah angker. Segala perkakas mulai dari sofa set ruang tamu, sofa bed ruang tengah, semua tampak mewah. Hingga kamar-kamar berisi ranjang set kasur busa nan empuk, juga furniture lengkap. Mulai dari lemari tiga pintu, meja rias, hingga meja belajar anak-anak. 
Aku tak paham detail luas rumah ini, yang kulihat, rumah ini memang luas berlantai dua. 
Ada tiga kamar di lantai bawah. Sebenarnya, lantai atas pun tak kalah indah.
Namun, Mas Akhyar sengaja menutup akses agar anak-anak tak ke sana, sebab bahaya jika mereka suka naik turun tangga. Takut anak-anak tergelincir, dan terpeleset. 

Semua ruang, hingga dapur tertata kitchen set nuansa kayu bergaya kekinian, kamar mandinya telah bersih, dan rapi, bahkan di dapur ada set ruang makan yang dulu kuidamkan. Persi seperti rumah baru. Membuatku takjub hingga terperangah, tak mampu berkata-kata. Pasti, pemilik rumah menghabiskan banyak uang supaya rumah ini kembali layak huni. 
Kurasa, ini pasti jauh lebih baik dibanding tinggal di rumah mertua, juga rumah sengketa. Tinggal di sini, harus disyukuri, sebab aku tak membayar sepeserpun untuk ini. Bahkan, Pak Bismo pun berjanji, urusan listrik, dan PDAM, kami tak perlu khawatir, semua dia yang menganggung. 

Rumah ini, letaknya sebetulnya tak terlalu jauh dari pemukiman. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain memang cukup renggang, ditambah lagi tempatnya lebih dekat ke kebun juga sawah. Jadi terkesan asri, dan lembab. Cerita umum yang kudengar dari mulut ke mulut, rumah ini dulunya adalah rumah milik Pak Komar, juragan kayu yang kini ikut tinggal bersama anaknya di ibukota. Pak Komar, berniat memberikan rumah ini pada anaknya. Namun, tak ada satupun anaknya bersedia. Anak-anak Pak Komar telah sukses di tanah rantau. Pak Komar pun telah menduda sejak lama, jadi dia tak ingin tinggal sendirian dan lebih memilih ikut anaknya. Jadi, rumah ini dibiarkan tak berpenghuni. Namun, sebagai saudara yang masih peduli, Pak Bismo kerap membayar jasa tukang bersih-bersih, juga tukang kebun untuk membabat semak belukar yang mengganggu sekaliling halaman. Bagiku, apapun, bagaimanapun keadaan rumah ini tak masalah. Toh sekeliling masih banyak tetangga. 
Aku hanya perlu melangkah beberapa meter, untuk bisa menjumpai tukang sayur, juga aneka pedagang keliling yang mangkal. 

Dulu, aku kerapkali berangan, memiliki rumah mungil nan sederhana dengan furniture kekinian, serta lengkap. Kecil tak apa, asal milik sendiri. Sekarang, aku memilih tinggal di rumah mewah dengan perabotan yang lengkap. Namun, bukan milik kami. Terselip doa, dalam setiap bakda sholat, supaya kami lekas bisa memiliki rumah sendiri. Amin ya robbal alamin. Harapan sederhana. Namun, saat ini masih sebatas angan. 

Di kamar yang ditempati anak-anak, dindingnya dipasang walpaper warna biru segar supaya tampak cerah. Kamar itu, ditempati Aryan, dan Hakiki, putra pertama, dan keduaku. Sementara aku tidur bersama Atikah, putri ketigaku yang kini usianya hampir lima tahun. 

Awalnya, rumah ini tampak seperti mengerikan. Namun, sekarang tak lagi.

Kucoba memejamkan mata, berusaha senyaman mungkin beristirahat di rumah yang sempat kosong tak berpenghuni selama belasan tahun lamanya ini. Ini hari keempat aku tinggal di sini, dan memang banyak kejanggalan unik yang kualami, tapi tak pernah kuanggap serius. 
Tak mengapa ... Selama tak menganggu stabilitas ketentraman hidupku, juga keluarga kecilku. Aku sudah nekat dan tekat bulat di sini. Bagiku, saudara ipar toxic, mertua tak pengertian, dan gemar mencela. Tetangga kepo, dan suka menggunjing orang, jauh lebih seram daripada panghuni rumah ini. 
Sejak kecil, orangtua, dan para guru ngaji mengajarkan padaku, bahwasannya memang makhluk halus itu ada, beda dimensi. Selalu memohon perlindungan kepada-Nya jika merasa terusik. Kerana, tak ada satu pun makhluk yang dapat mendatangkan manfaat, juga madharat tanpa seizin-Nya. 

Kubaca ayat kursi sebanyak tujuh kali, surah Al-fatihah tujuh kali, An-nas, Al-falaq, juga Al-ikhlas sebelum lelap. Berharap malam istirahatku nyaman, tanpa hadir mimpi buruk. 

..... 

"Zulfah! Tolong aku, Zulfah!" panggil seorang wanita berwajah pucat pasi, hanya mengenakan t*ng top, juga celana pendek di atas lutut. 
Wajahnya dipenuhi garetan seperti bekas disayat benda tajam, namun tanpa darah. Rambutnya telah botak berondol, seperti dipotong petal tak beraturan. Sebetulnya wajah wanita itu cukup ayu, meski sedikit mengerikan. Betisnya pun dipenuhi bekas lebam seperti bekas dihantam balok juga terbentur. 

Wanita itu, duduk di dekat sumur belakang rumah yang ditutup rapat oleh cor beton. 

"Zulfah tolong aku!" panggilnya lagi dengan suara lemah. 

"Mbak kenapa?" jawabku. 

Namun, belum sempat dia menjawab, wanita berambut petal itu telah menghilang dalam sekejab mata. 

Bersambung ...

Posting Komentar

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.