Tenggelam Dengan Adsense
Tenggelam Dalam Kegelapa
Bosan menanti, aku mulai berjalan ke bagian depan rumah. Sebenarnya, tidak ada tanda-tanda orang yang mendiami rumah kosong ini. Hampir jam sebelas malam dan orang yang kutunggu tidak juga datang.
"Sepertinya kali ini pun informasinya salah," batinku.
Aku terus berjongkok dengan perasaan gelisah. Seketika aku tersentak saat terdengar ranting yang terpijak. Asal suara dari luar. Seseorang datang.
Suara langkah itu kian mendekat. Aku bersiap berdiri dan memegang kuat sebatang kayu dengan kedua tangan.
Dengan pandangan terbatas karena hanya mengandalkan sinar lampu dari jalan kosong, aku berusaha menerka sudah sampai mana kakinya melangkah.
Aku mengayunkan kuat kayu itu dan tepat mendarat di lehernya.
"Di sini ternyata kamu bersembunyi, Bajin*an!" Aku terus memukul tubuhnya berulang kali.
"Siapa? Ada apa ini?" Aroma tajam dari minuman keras langsung tercium kuat saat dia membuka mulutnya.
"Banyak bacot!" Aku memukulnya terus menerus tanpa peduli erangan kesakitan dan teriakan ampun dari pria yang meringkuk di lantai.
Lelah mengayunkan kayu, aku melemparkan kayu itu dan mulai menginjak-in*ak pria itu tanpa ampun.
Aku kesetanan.
Setelah melihat pria itu tak bergerak dan hanya terus mengerang pelan kesakitan, aku mulai menyeret kakinya ke bagian belakang rumah dengan penuh semak belukar.
Aku melepaskan kakinya dan mulai meraih tali kabel di dalam tas.
Saat menunggu dan menelusuri tiap sudut rumah, tanpa sengaja aku menemukan besi yang menempel di dinding ini. Meski aku tidak tahu apa fungsinya dulu, setidaknya saat ini sangat berguna untuk rencana dadakan dengan alat yang sudah aku persiapkan.
Tanpa ragu sedetik pun, aku mengangkat tangannya yang terkulai lemas dan mulai memasang tali kabel itu di kedua tangan dengan besi sebagai penengah. Mulutnya pun aku sumpal cepat dengan potongan kain dari bajunya yang sengaja aku sobek.
Semakin lama aku menatap mata penuh ketakutan ini, semakin besar keinginanku untuk menyiksanya.
"Tidak usah menatapku memelas. Ini hari terakhirmu bernapas."
Tanganku mulai terayun dan mendarat mulus di dagunya. Tanpa bisa mengeluarkan suara, dia hanya terus menangis sambil mengelengkan kepalanya.
Darah segar mengalir dari mulut dan juga pelipisnya.
"Kamu tahu siapa saya? Kamu bisa tebak? Kamu salah memilih korban, Bangs*t!!" Gemuruh amarah ini sama sekali tidak reda, tidak peduli sudah berapa kali aku lampiaskan pada sang pencetus, kemarahan ini tak juga mereda.
Aku membekap hidungnya dengan tangan kanan. Tubuhnya terus meronta saat tidak bisa bernapas.
"Ini, kan, yang kamu lakukan pada anakku, Dio. Dia masih berumur empat tahun kepara*. Kenapa kamu bekap dia sampai meregang nyawa."
Tubuhnya terus bergetar hebat, melihat pemandangan ini bukan membuatku kasihan, aku justru kian dibutakan oleh dendam. Anakku bergetar seperti ini berarti sebelum akhirnya meregang nyawa.
Cepat aku lepaskan tangan dan pria ini mulai bernapas sambil batuk berulang kali.
"Tidak akan semudah itu caramu mati. Ini masih awal, belum pembalasan untuk istriku." Wajah Ratna langsung terbayang. Meski kami memutuskan berpisah, tetapi di hatiku dia selalu ada.
Pria itu menatapku tajam. Sorot mata kaget penuh ketakutan itu berganti dengan senyuman. Iya, senyuman. Gila.
Rengekan yang masih terdengar beberapa saat lalu telah berubah menjadi seringai mengerikan. Dia tertawa, dia menunjukan deretan gigi-giginya yang bernoda merah itu dengan bangga.
Apa yang dia tertawakan?
Darahku kian mendidih melihat ekspresi mengejeknya tadi. Spontan tanganku yang terkepal langsung menyentuh keras perutnya.
Dia terbatuk dan mulai meringis kesakitan lagi. Tidak puas, aku terus melakukan pukulan yang sama di titik yang sama.
Setelah cukup lelah, aku melirik pria itu yang terlihat tak berdaya dan terus memejamkan matanya. Aku menghentikan pukulan dan melepaskan sumpalan di dalam mulutnya.
Aku tidak mau juga dia mati di sini. Tujuanku bukan itu. Aku ingin mengetahui lokasi otak rencana pembunuhan keluargaku.
Aku duduk di samping pria yang terduduk lemas dengan kepala yang terkulai. Darah segar terus menetes dari beberapa bagian tubuhnya.
"Di mana Tedi? Dia otaknya, kan?"
Pria itu hanya terbatuk dan kembali bungkam, kurasa aku memukulnya berlebihan. Jika dia beneran mati di sini, akan sulit bagiku mencari Tedi.
Aku melihat mulutnya bergerak pelan seperti sedang membisikkan sesuatu.
"Ternyata wanita yang sempat diicip Tedi itu maksudmu?"
Bagai tersambar petir, bisikan yang kukira adalah informasi Tedi justru merupakan fakta yang membuatku sakit hati. Dia sempat menyentuh Ratna, pria itu, dia … dia.
Aku mengeraskan rahang dan kembali menggapai balok kayu di dekat kakiku.
"Di mana dia? Tedi, di mana dia?" Aku bersiap kembali mengayunkan kayu ini.
"Percayalah, kamu tidak ingin merasakan kesadisanku. Kamu bahkan tidak mencari tahu siapa mantan suami wanita itu," lanjutku lagi.
"Dia … hilang. Aku juga tidak tahu, Bang. Sumpah. Beneran, Bang." Akhirnya, sorot mata itu datang. Sorot mata terintimidasi, penuh ketakutan.
"Sepertinya bagimu ucapanku hanya angin, ya? Kamu pikir aku tidak mungkin membunuh? Kamu salah. Dunia gelap adalah tempatku tumbuh. Kamu, bukan lawanku." Aku mulai memukul perut pria itu dengan ujung kayu, dan terus menekannya kuat.
"Bang … ba-" Dia kembali terbatuk dan memuntahkan darah segar.
"Sudah ingat? Di mana?"
Aku mendekatkan telingaku ke bibirnya. Meski samar, aku mendengar lokasi baru, target baru untukku.
Aku mengangguk dan mendekatkan wajahku ke mata bengkak pria itu.
"Namaku Pion codet, kamu boleh bertanya ke siapa pun tentangku. Saat polisi menemukanmu nanti, jangan sebut namaku. Atau kalau mau mengulang siksaan sama di penjara, silahkan saja."
Aku berjalan keluar dengan banyak cipratan darah di sekejur tubuh dan pakaianku.
Aku harus mencari wc umum untuk berganti baju dan membuang semua pakaian yang kupakai ini.
– Tamat –
Posting Komentar