Seram Sekali
JASAD YANG DITABURI GARAM 10
"Kamu yakin dengan keputusan yang kamu ambil, Tri?"
Aku mengangguk mantap, menjawab pertanyaan Bu Ani.
"Tapi, Mbah takut, Nduk. Takut kejadian yang menimpa Lastri terulang lagi."
Aku tersenyum, seraya menggengam telapak tangan keriput milik Mbah Putri, wanita yang menggantikan peran kedua orang tuaku setelah mereka bercerai.
"Insya Allah, semuanya baik-baik aja, Mbah. Doain Dimitri, semoga bisa secepatnya menemukan fakta di balik kem*tian Mbak Lastri," ucapku, menatapnya penuh yakin.
Aku tahu kekhawatiran beliau, tapi aku tidak bisa hanya berdiam ketika ada seseorang yang memberikan peluang. Selain memang karena butuh pekerjaan, aku menerima tawaran Nyai Dasih pun untuk mencari tahu apa yang seharusnya diketahui.
Aku pernah bilang, kan, kalau almarhumah Mbak Lastri itu sudah seperti kakak sekaligus ibu untukku? Itu karena semasa hidupnya, aku sering bergantung padanya. Bahkan Mbak Lastri sering mendahulukan kebutuhanku atau Mbah Putri dibanding kebutuhan dirinya sendiri.
"Di sini cuma kamu sama Mbah Putri, yang Mbak punya, Tri. Jadi, pemberian begini bukan hal besar. Kebaikan kalian lebih besar. Jadi tolong diterima, ya," ucapnya waktu itu, saat ia membelikan aku satu set gamis di hari ulang tahunku.
Aku terharu, bahkan di saat kedua orang tuaku tak pernah ingat hari ulang tahunku. Mbak Lastri justru sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk membelikanku hadiah, yang menurutnya tak seberapa ini. Namun, untukku sangat-sangat berarti. Gamis pemberiannya itu sampai sekarang masih kusimpan di lemari, meski warnanya mulai kusam karena sering terkena sinar matahari.
Jadi, di saat-saat seperti ini. Rasanya berdosa sekali, kalau aku hanya berdiam diri tanpa mencari keadilan untuknya. Dan seharusnya aku tidak takut, ketika dia datang menampakkan diri, pikirku.
"Tapi, keputusan kamu ini terlalu berisiko, Nduk," tukas Bu Ani.
Aku tersenyum menatapnya, lalu mengangguk membenarkan.
"Tapi, saya ndak bisa terus berdiam diri, Bu. Apalagi makin banyak kejadian, yang malah menambah citra buruk almarhumah Mbak Lastri. Semua kejadian selalu mereka sangkut pautkan dengan sosok Mbak Lastri. Jadi saya harus bisa mencari bukti, untuk secepatnya membersihkan nama Mbak Lastri," ungkapku. Tekadku sudah bulat, apalagi siang tadi, Nyai Dasih langsung yang mendatangiku dan meminta untuk bekerja di rumahnya.
"Saya dengar kamu sekarang nganggur, kan, Tri?" tanya Nyai Dasih siang tadi, saat ia mampir ke rumah Bu Ani selepas takziah di rumah Mbak Widarti.
"Nggih, Nyai," jawabku seadanya.
"Kalo kerja di rumah saya aja gimana, Tri? Iya, itung-itung gantinya Lastri. Widarti kualahan kerja sendirian. Dan karena kejadian ini, pasti Widarti juga libur beberapa hari."
Aku melempar pandangan ke arah Bu Ani dan Mbah Putri, yang siang tadi ikut menyimak percakapan kami. Wanita paruh baya itu menggeleng pelan, pun dengan Mbah Putri. Ia terlihat keberatan.
"Kamu ndak perlu khawatir soal gaji, Tri. Apalagi kalo kerjaan kamu bagus dan jujur, saya pasti kasih kamu bonus," sambung Nyai Dasih, saat aku hanya diam mempertimbangkan tawarannya.
"Tapi, saya ndak bisa tidur di rumah sampean, Nyai. Soalnya ndak tenang, kalo harus ninggalin Mbah Putri seharian penuh," ucapku, membuat Bu Ani dan Mbah Putri sedikit tersentak.
Aku menyunggingkan senyum tipis, mencoba memberitahu mereka melalui tatapan mata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Iya, ndak apa-apa, Tri. Toh, waktu itu Lastri juga sama. Datang pagi, pulang sore atau sehabis Magrib. Tapi, berarti kamu setuju, kan, kerja di rumah saya?" tanyanya, dengan kedua mata berbinar bahagia. Bibirnya tersenyum lebar. Sedangkan aku hanya menyeringai.
Aku mengangguk mantap, lalu menyalami telapak tangannya saat ia pamit untuk kembali ke rumah duka, katanya.
"Kalo memang keputusanmu seperti itu. Ibu sama Mbah cuma bisa bantu doa. Kerja dengan baik, tanpa membuat mereka curiga." Ucapan Bu Ani itu mengembalikan aku dari keterpakuan.
Aku tersenyum tulus, sembari mengangguk.
"Siap, Bu. Insya Allah, saya ndak akan gegabah," ucapku penuh keyakinan.
***
Rasanya belum lama kedua mataku terpejam, tapi desakkan di kandung kemih memaksaku untuk kembali bangun. Ingin kutahan, tapi sepertinya pagi masih lama datangnya. Namun, untuk sekadar membuka mata pun rasanya aku takut.
Apalagi malam ini aku merasakan sesuatu yang berbeda. Malam lebih terasa wingit dari biasanya. Suara lolongan anjing terdengar sayup-sayup di kejauhan. Namun, suara burung gagak berputar tepat di atas atap.
Kedua mataku memang masih tertutup rapat, tapi kesadaranku sudah kembali sepenuhnya. Telinga, juga indera penciumanku bisa mengetahui apa yang ada di sekitar.
Hidungku mengendus aroma yang kurang sedap. Seperti bau apek, dan sedikit pengap. Aneh, pikirku. Padahal kamar yang aku tempati di rumah Bu Ani ini bersih, kok. Setiap pagi dan sore selalu aku atau Mbah Putri bersihkan.
Namun, sekarang aku seperti berada di dalam sebuah ruangan sempit yang kotor. Dengan perasaan was-was, perlahan kupaksa membuka kedua mata. Gelap, itu yang pertama kali terlihat. Aneh, padahal seingatku lampu kamar tidak pernah dimatikan.
"Mbah," gumamku, sembari meraba sisi kananku. Di mana biasanya Mbah Putri berbaring.
Kosong. Apa Mbah Putri lagi ke kamar mandi juga, ya, pikirku.
Akhirnya dengan sisa-sisa keberanian, aku bangkit dari posisi berbaring. Duduk sembari mengucek kedua mata. Dan tubuhku terpaku seketika, saat kesadaranku sudah terkumpul sepenuhnya.
"D-di mana aku?"
Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan yang gelap dan pengap dengan panik. Ini bukan kamar yang aku tempati di rumah Bu Ani. Namun meski gelap, aku tahu pasti sedang berada di mana sekarang. Kamar Mbak Lastri.
Bagaimana caranya aku berpindah ke tempat ini, batinku. Aku menampar pipiku sendiri, untuk memastikan kalau ini bukan mimpi. Dan rasanya sakit, itu berarti ini bukan mimpi.
"Mbah Putri, tolong!" teriakku, sekencang yang aku bisa.
"Jangan teriak, Nduk. Udah malam, nanti bisa ganggu yang lain."
Suara itu membuatku terperanjat, dan spontan mundur ke sudut ranjang. Aku tahu milik siapa suara itu.
"Kamu kebelet pipis? Mau Mbak anter ke kamar mandi?" tanya seseorang, ah, bukan. Tapi, sesemakhluk yang sekarang mulai terlihat jelas bagaimana wujudnya.
Dia duduk di sisi ranjang, membelakangiku. Rambut panjangnya yang lurus, tergerai dengan indah. Meski pencahayaan yang masuk ke kamar ini sangat minim, tapi aku dapat melihat wajah Mbak Lastri dari arah samping dengan cukup jelas. Sebab jarak kami memang tidak terlalu jauh.
"Maaf, ya, Nduk. Kalo Mbak bakal banyak merepotkan kamu," ucap Mbak Lastri, seraya menoleh pelan ke arahku.
Kedua mata yang biasanya memancarkan kebahagiaan itu kini terlihat sayu. Meski bibirnya tersenyum, tapi wajah cantiknya terlihat sendu. Tak ada tampang menyeramkan, yang seperti kebanyakan warga ceritakan.
Yang tampak di hadapanku kini, justru Mbak Lastri dengan kondisi memilukan.
"S-sampean sebenarnya kenapa, Mbak?" tanyaku, mencoba memberanikan diri untuk interaksi. Toh, sudah kepalang berhadapan, pikirku.
"Kamu percaya sama Mbak, kan, Tri?" Aku mengangguk, menjawab pertanyaannya.
Namun, dia malah terkekeh. Seolah melihat atau mendengar sesuatu yang lucu.
"Jangan gampang percaya, Tri," ucapnya, setelah tawa lirihnya berhenti.
"M-maksud sampean?"
Jujur aku bingung dengan ucapannya. Toh, selama ini aku memang percaya dengan Mbak Lastri.
"Terlalu gampang percaya itu ndak baik, Tri. Gampang dikelabui. Kamu harus punya rasa curiga juga. Supaya ndak berakhir seperti Mbak-mu ini. Orang kayak kita ini mudah dimanfaatkan oleh orang-orang yang kita anggap teman."
Aku terpaku, bingung harus menanggapinya seperti apa. Iya, semoga saja dari curhatannya ini aku bisa mendapatkan petunjuk.
"Terkadang orang yang kita anggap teman, adalah orang yang sebenarnya pelan-pelan ingin mengh*bisi kita, Tri. Jangan terlalu mudah percaya, atau kamu akan dijadikan wayang oleh dalang yang berkedok seorang teman. Dia keliatan peduli, padahal kenyataannya dia ingin kita m*ti."
'Apa Mbak Lastri dikhianati temannya sendiri?' batinku.
Bersambung.
Buat yang bingung, bisa intip bab lengkapnya di KBM App, ya, dengan akun Hana_Jasmine98.
Posting Komentar