Kembali Google

Table of Contents

 

TEWAS MENGERING DIBUNUH ORANG TUA SENDIRI



Part 2. Sosok Hitam Menyeramkan


"Jelaskan! Apa anak saya mati??" jerit Sundari.


"Sabar, Bu. Anak Ibu tidak mati," jawab Dukun Parjo tenang.


"Tapi dia tidak bernafas!" 


"Tenang, ini hanya efek sementara. Kita kembalikan dia ke kamarnya, nanti dia akan pulih seperti sedia kala," jawab Dukun Parjo.


"Benarkah?" Tanya Sundari tak yakin.


"Ibu jangan panik. Menghambat kerja saya saja!" Umpat Dukun Parjo membuat Sundari merasa tak enak.


Keempat orang itu segera beranjak mengangkat tubuh kaku Melati keluar kamar mandi. Cepat-cepat Nilam masuk kamar sebelum orang tua dan dua dukun itu melihatnya.


Dibalik celah pintu kamarnya Nilam mengintip perbuatan keempat orang itu. Mereka mengangkat tubuh adiknya ke kamar lalu menutupnya.


Di kamar, tubuh kaku Melati dibaringkan.


"Kalian jangan panik, ini efek sementara," kata Dukun Parjo menenangkan kedua orang tua Melati.


Dukun itu mengeluarkan sebuah plastik berisi serbuk putih seperti tepung. Dituangnya serbuk putih itu pada cawan dan dicampur dengan air mawar. Dukun Parjo komat-kamit membaca mantra dan membalurkan ramuan itu ke seluruh tubuh Melati. 


"Nah, sudah beres sekarang," katanya dengan senyum. "Kenakalan anak kalian akan berkurang. Genderuwo yang menguasai nya selama ini sangat kuat, dia merasuki jiwa anak ini sehingga sangat nakal. Apa yang tadi kita lakukan adalah membunuh genderuwo itu , nanti jiwa Melati akan kembali lagi menjadi dirinya semula."


"Tapi ... kapan itu, Pak?" tanya Sundari ragu.


"Tergantung kapan jiwa anak ini ingin kembali. Mungkin besok pagi, malam, atau besoknya lagi," jawab si dukun.


Sundari dan suaminya berpandang-pandangan ragu.


"Tenang saja. Saya tetap mengawal kalian, sampaikan pada saya kalau ada apa-apa. Percayalah anak kalian baik-baik saja," jawab Si Dukun meyakinkan. 


Sundari dan suaminya tersenyum lega. 


"Baik, terimakasih bantuannya, Pak," kata Handoko pada Dukun Parjo.


"Sama-sama, Pak Handoko," jawab dukun itu. "Saya dan asisten saya pamit pulang dulu, Pak. Jangan lupa selimuti tubuh anak Bapak, perlakukan dia seperti layaknya anak sedang tidur. O iya, jangan bilang apapun pada orang lain, jangan sampai ada yang tahu. Bisa menghambat urusan kita."


"Baik, Pak. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya," kata Handoko. 


Orang tua Melati mengantar lelaki itu sampai pintu sebelum ia pulang dengan motornya.


***


Keesokan harinya semua berjalan seperti biasa. Ketika Nilam bangun ibunya sedang memasak. 


"Adik di mana, Bu?" tanya Nilam pada ibunya.


"Masih tidur, Lam," jawab ibunya tanpa berpaling dari sayur yang dia masak.


Nilam melangkah ke pintu kamar adiknya dan berniat membuka pintu.


"Kok dikunci, Bu?"


"Mau apa kamu?! Nggak usah kepo-kepo urusan orang tua, mempersulit saja kamu!" tukas ibunya dengan nada keras.


"Oh, maaf Bu. Nilam hanya ingin memastikan keadaan adik baik-baik saja."


"Adikmu sedang sakit, sekarang dalam proses penyembuhan. Nggak usah ikut campur dengan apa yang kami lakukan, itu menghambat kesembuhan adikmu. Kamu mau tanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan adikmu?!" 


Nilam menggeleng takut mendengar jawaban ibunya. 


"Ya sudah! Jangan rese kalau nggak mau tanggung jawab!" 


"Baik, Bu. Maaf," jawab Nilam. 


"Sudah! Segera mandi dan bersiap ke sekolah!"


"Baik, Bu."


Nilam pun melakukan aktivitas seperti biasa. Sepulang sekolah ia kembali menanyakan adiknya. 


"Adikmu ada di rumah Kakek," jawab Sang Ibu.


"Kakek Wiro dan Nenek Hamidah?"


"Bukan. Kakek Marjan."


"Oh, baiklah. Tapi kenapa harus dibawa ke rumah kakek, Bu?" 


"Situasi di sana lebih kondusif untuk kesembuhan adikmu."


"Tapi Bu, kenapa pintu kamarnya masih dikunci?"


"Kamu kenapa tanya-tanya terus, Nilam?! Masalah kamar dikunci dan kesehatan adikmu tidak ada  hubungan sama sekali. Kamar itu dikunci supaya aman karena Ayah menyimpan uang milik bersama dengan temannya."


"Oh, begitu ya. Baiklah, Bu."


Nilam masih curiga dengan apa yang dilakukan orang tuanya. Diam-diam dia pergi ke rumah Kakek Marjan, ayah dari ibunya.


"Kek, apa benar Melati ada di sini?" tanya Nilam.


"Ya, dia sedang bermain sekarang," kata kakeknya dengan wajah riang. 


"Oh, jadi Adik sudah sehat ya?"


"Alhamdulillah. Mana mungkin masih sakit kalau sudah bermain," jawab Kakek dengan tawanya. 


Mendengar jawaban Kakek, Nilam menjadi lega. Dia pun segera pamit pulang ke rumah untuk mengerjakan PR. 


"Nilam pamit pulang dulu, Kek. Sampaikan pesan Nilam pada Adik, suruh cepat pulang, 'Kakak kangen!'," ucap gadis itu. 


"Hahaha, ya ... ya, Kakek sampaikan. Sudah, kamu segera pulang ya, biar tidak dicari Ibumu!" pesan Kakek.


Nilam pun pulang dengan lega.


*** 


Sementara itu ....


"Pak, gimana Pak? Kenapa sudah empat hari tubuh Melati masih seperti ini? Bahkan tubuhnya semakin kering, kaku, dan menghitam," kata Sundari khawatir.


"Kamu sudah sering balurkan ramuan yang diberikan Dukun Parjo kan?" sahut Handoko.


"Iya, sudah."


Handoko memandang tubuh anaknya yang kaku, kering dan menghitam, mirip seperti boneka. Ia pun mulai gelisah.


"Besok biar kutanyakan pada Pak Parjo," tukas lelaki itu.


***


Malam semakin larut. Angin yang berembus kencang dan suara hujan di luar membuat suasana mencekam. Nilam tak bisa tidur, ia terus teringat adiknya. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang janggal. Walaupun Kakek Marjan mengatakan adiknya baik-baik saja, tapi tidak demikian dengan perasaan Nilam.


Hujan makin deras. Nilam makin terbayang wajah adiknya. "Hujan yang deras begini adik tidak di rumah. Gimana keadaan dia ya? Bukankah biasanya adik selalu takut dan menangis tiap ada hujan malam hari? Lalu aku akan menghiburnya dengan dongeng-dongeng sebelum tidur?" batin Nilam. 


Akhirnya, gadis itu terlelap tidur dengan kerinduan pada adiknya. Tengah malam ia terbangun oleh suara ketukan di lemari kayu dekat dipannya. Terdengar suara rintihan kecil. 


"Kakak .... Kakak ...."


Nilam terbangun.


"Tolong Melati, Kak ...." Kembali terdengar suara rintihan. 


Nilam mencari arah suara itu.


"Aaaaaaargh!!!" gadis itu menjerit ketakutan.


Di antara remang lampu di kamarnya, ia melihat sosok adiknya dengan baju putih, rambut terurai dan wajah hangus kering menyeramkan. 


Apa yang sebenarnya terjadi pada Nilam dan Melati?


*Bersambung*

Posting Komentar