Informasi Garam

Table of Contents

JASAD YANG DITABURI GARAM



Setelah selesai salat Subuh, aku memutuskan untuk tetap menunggu di dalam kamar Mbah Jum, sampai keadaan di luar sedikit terang baru akan turun, dan pulang. Sebab tidak mungkin, kan, aku bekerja dengan pakaian yang sama selama dua hari. Meski sebenarnya kemarin Mbak Widarti menawariku untuk memakai pakaiannya saja. 


 Namun, aku langsung menolaknya dengan halus. Sebab aku merasa tidak sedekat itu dengan dia. Memang tidak nyaman, mengenakan lagi pakaian yang sudah sedikit bau keringat. Namun, aku rasa ini lebih baik ketimbang mengenakan pakaian orang lain yang tidak berhubungan baik denganku. 


Aku menatap Al-Qur'an usang yang tergeletak di atas nakas milik Mbah Jum, dan mengambilnya. Mengelap permukaannya yang berdebu menggunakan telapak tanganku. Setelah membaca Al-Fatihah, aku lanjut membuka halaman berikutnya. Namun, saat baru saja membaca sepuluh ayat pertama surah Al-Baqarah. Aku dikejutkan oleh suara ledakan yang berasal dari halaman samping rumah ini. 


Suara ledakannya cukup kencang, sampai-sampai membangunkan Mbah Jum yang masih tidur. 


"Opo kui, Nduk?" tanyanya, dengan suara parau. 


Aku yang sama terkejutnya pun, langsung membuka mukena dan melipatnya asal. Meletakan kembali Al-Qur'an pada tempatnya. 


"Ndak tau, Mbah. Kayak suara balon meledak," ucapku ragu, sebab mustahil rasanya suara balon sekencang itu. Lagian, siapa juga yang bermain balon di jam begini, pikirku. 


Aku yang penasaran pun langsung pamit untuk keluar kamar, dan mengecek keadaan di bawah. Saat melirik kursi goyang, yang semalam bergerak sendiri. Bulu kudukku langsung berdiri. 


Sembari mengusap-ucap tengkuk, aku bergegas melangkah menuruni tiap anak tangga dengan cepat. Dan ternyata Mbak Widarti dan yang lain pun terbangun. Entah semalam juragan Surya dan Nyai Dasih pulang jam berapa. 


"Kok, kamu dari atas?" tanya Mbak Widarti, menatapku heran. 


"I-iya, tadi malam pindah ke kamarnya Mbah Jum, Mbak," jawabku apa adanya. Lalu sedikit berlari menyusul juragan Surya dan Nyai Dasih yang berlari ke arah halaman belakang. 


Langkah kedua majikanku itu sempat berhenti di depan kamar bekas Mbak Lastri, yang semalam tak sempat aku tutup karena sudah terlalu takut. Mereka spontan menoleh ke arahku dan Mbak Widarti. 


"Anu, Juragan. Semalam lupa saya tutup," ucapku, menunduk sopan. Meski sebenarnya aku enggan bersikap ramah pada mereka. Namun, bagaimana lagi. Keadaan memaksaku untuk bersikap baik pada mereka. 


"Emangnya semalam kamu liat apa?" tanya Mbak Widarti, sedikit mencondongan kepalanya ke arahku. 


"Ndak liat apa-apa. Cuma hawanya ndak enak aja, Mbak." Benar, kan, semalam aku tak melihat apa pun di kamar itu, kecuali kipas angin yang berputar sendiri tanpa adanya aliran listrik. 


"Oh, kirain liat Mbak Kemuning," tukas Mbak Widarti santai, seraya berjalan lebih dulu menyusul kedua majikan kami. 


 Meninggalkan aku yang masih terpaku di belakang. Ah, iya. Pasti Mbak Widarti tahu lebih banyak soal Mbak Kemuning, karena dia sudah bekerja di sini lebih dulu, batinku. 


Lalu saat melewati kamar yang semalam aku tinggalkan begitu saja. Aku langsung menarik daun pintu, dan menutupnya. Dan sebelum pintu tertutup rapat, aku sempat melihat seorang perempuan duduk di pinggir ranjang. Perempuan berbaju kuning, persis seperti yang aku lihat semalam. Apa kamar ini pun bekas kamar Mbak Kemuning, tanyaku dalam hati. 


Setelah mengunci kamar, aku langsung berlari menyusul yang lain keluar. 


"Asu! Ngopo iso ngene iki?" 


Aku berjengkit kaget, ketika mendengar juragan Surya beberapa kali melontarkan umpatan. 


"Ada apa ini, Mbak?" tanyaku lirih, pada Mbak Widarti yang berdiri tepat di belakang juragan Surya. 


"Salah satu pager yang kemaren ditanam Mbah Karsa meledak." 


Oh, ternyata suara ledakan besar tadi berasal dari sudut dapur ini. Ada sedikit kepulan asap yang keluar dari rumput yang sepertinya sedikit terbakar. 


"Mbah Karsa?" gumamku, tak tahu siapa orang yang dimaksud Mbak Widarti. 


"Iyo, dukun yang kemaren datang itu, Tri. Dia nambah pager, buat lindungin rumah juragan. Soalnya garam karo kembang seng ditabur setiap sore kui kurang ampuh." 


Aku hanya mengangguk, mendengar penuturan Mbak Widarti. Sebegitu takutnya mereka dengan teror Mbak Lastri, sampai harus memagari rumah mereka berlapis-lapis begini, batinku. 


"Dasar dukun abal-abal!" umpat juragan Surya, lalu berbalik dan kembali ke dalam rumahnya diikuti oleh Nyai Dasih. 


Aku dan Mbak Widarti hanya saling tatap. Lalu perempuan itu pun ikut masuk ke dalam rumah. Sedangkan aku memutuskan untuk pulang, karena hari sudah mulai terang. Mana mungkin ada demit pagi-pagi begini, kan, batinku. 


Setelah berpamitan pada Nyai Dasih, aku pun langsung bergegas pulang. Dan aku sempat berpapasan dengan Kang Jono, yang baru saja pulang. Dia tersenyum menjijikan setiap kali berpapasan denganku. 


Aku yang takut, hanya mengangguk menanggapi sapaannya. Dan ketika menoleh, tak sengaja aku melihat bercak merah di ujung celana levis abu-abu yang dia pakai. Itu darah, atau apa? Batinku bertanya-tanya. 


*** 

Beruntung selama perjalanan pulang aku tak berpapasan dengan sesuatu yang mengerikan, sampai akhirnya sampai di rumah Bu Ani dengan selamat. 


"Semalaman Mbah ndak bisa tidur mikirin kamu, Nduk," tutur Mbah Putri, yang tengah membantu Bu Ani di dapur. 


Sedangkan aku baru saja selesai membersihkan diri, di kamar mandi. 


"Semalam ibu nyuruh Pak Tarim buat jemput, Nduk. Tapi, juragan Surya keburu datang, dan ngasih kabar kalo kamu mau nginep di sana nemenin Widarti," ungkap Bu Ani, sembari menggoreng tempe mendoan. 


"Jangan terlalu dekat sama Widarti, Tri." Mbah Putri menatapku, memberi peringatan. 


"Nggih, Mbah. Dimitri sama Mbak Widarti deket sewajarnya aja, sebagai temen kerja. Mbah ndak perlu khawatir. Dimitri tahu harus bersikap gimana," tukasku, sembari memeluk tubuhnya dari samping. 


"Baguslah kalo gitu, Tri. Oh, iya. Kemaren ibu sama Karti udah bersih-bersih kamarnya Lastri. Soalnya kalo nunggu kamu senggang, kayak ndak mungkin. Kamu selalu pulang sore dari rumah juragan," terang Bu Ani, menatapku tak enak. 


"Nggih, Bu. Ndak apa-apa. Terus, sampean atau Mbak Karti ndak menemukan sesuatu, Bu?" 


Bu Ani tampak berpikir, lalu tersenyum sambil mengangguk. 


"Ada, tunggu ibu ambil dulu. Ini tolong titip tempe, Tri." 


Aku pun langsung menggantikan Bu Ani menggoreng tempe mendoan, sedangkan ia langsung melangkah entah ke mana untuk mengambil sesuatu yang ia temukan kemarin di kamar almarhumah Mbak Lastri. Dan dari tempat sekarang berdiri, aku bisa melihat dengan jelas makam Mbak Lastri, dari balik jendela dapur rumah Bu Ani, yang gordennya dibuka. 


Ada perasaan campur aduk saat melihat gundukan tanah makam itu. Dan aku tak menyangka, kalau di belakang rumah Mbah Putri akan ada makam. Tak pernah terbayangkan dalam benak, kalau salah satu dari penghuni rumah kami akan dimakamkan di sana. 


Aku mengirim Al-Fatihah dalam hati, untuk almarhumah Mbak Lastri. Jujur, aku merindukan perempuan itu. Ternyata benar, ya. Rindu paling menyiksa, adalah saat kita merindukan seseorang yang telah tiada. Sebab sebesar apa pun rindu yang kita punya untuknya, dia tidak akan pernah datang untuk menemui kita. 


"Ini, Nduk. Tapi kuncinya ndak ketemu." 


Aku sedikit tersentak, ketika Bu Ani menyodorkan dua buku diary usang yang terkunci oleh gembok kecil yang mulai berkarat. 


"Ini punya Mbak Lastri?" tanyaku, seraya menerima dua buku itu dengan tangan sedikit gemetar. Ternyata mimpi Mbak Karti waktu itu berisi sebuah pesan. 


"Iya, itu Karti yang nemuin. Tapi, dia ndak berani buka. Katanya, kamu yang lebih berhak buat buka. Tapi, kuncinya ndak ketemu. Kemarin pas nyari kuncinya, si Karti malah tiba-tiba teriak dan langsung lari ninggalin ibu sendiri di kamar," papar Bu Ani, diiringi kekehan. 


"Emang Mbak Karti liat apa, Bu?" tanyaku penasaran. Apa perempuan itu melihat sesuatu yang mengerikan di kolong ranjang, seperti apa yang aku lihat dulu? 


"Pas dia nyari kunci ke kolong ranjang. Katanya, dia liat orang tiduran di bawah, Tri. Hhiiy, untung ibu ndak liat," tutur Bu Ani, sembari bergidik ngeri. 


Aku yang tidak bisa mengobrol terlalu lama, karena harus kembali ke rumah juragan Surya pun langsung pamit setelah menyimpan dua buku diary usang milik Mbak Lastri di tempat yang aman. Semoga saja aku bisa menemukan petunjuk dari buku itu. 


Kali ini Bu Ani, membekaliku payung. Untuk berjaga-jaga kalau nanti sore hujan lagi, katanya. 


Aku berjalan sembari bersenandung lirih. Waktu masih lumayan pagi. Saat aku berangkat tadi, sempat melihat jam yang baru saja menunjukan pukul 06.35 pagi. 


Dan ketika jarakku dan rumah juragan Surya tinggal sekitar seratus meter lagi. Teriakan seseorang, membuatku berhenti sejenak untuk memasang pendengaran. 


"Enek mayit. Enek mayit." 


"Mayit di mana?" 


"Mayite sopo?"


"Neng kebon. Mayite Widodo." 


Aku mengusap tengkuk, yang tiba-tiba meremang. Ada mayat lagi? Dan kali ini mayat Kang Widodo, lelaki yang dua minggu lalu ditemukan tergeletak di makam Mbak Lastri yang berantakan. 


Bersambung 


Buat yang mau maraton, dan baca versi lengkap dari tiap babnya. Bisa mampir ke akun Hana_Jasmine98 di KBM App, ya. Tengkyu.

Posting Komentar