Google Anak Baik

Table of Contents

PEMBUNUH ANAKKU



"Apa yang kamu lakukan Hana? Kamu ingin membunuh Rara?" pekikku kaget ketika melihat Hana, istriku, sedang memegang gelas dan akan melemparkannya ke arah putri kecil kami yang sedang tertidur di box bayinya.


Aku langsung merampas gelas itu dari tangan Hana lalu meletakkannya di atas nakas.


"Biarkan aja mas, biarkan aku membunuh anak ini. Aku tidak ingin melihatnya lagi. Gara-gara dia, tubuhku jadi melar, wajahku penuh dengan jerawat, belum lagi payudaraku yang selalu merasa nyeri. Aku benci dia mas, yang selalu menangis sehingga menggangu tidurku!" sahutnya kesal


Ekspresi wanita cantik itu tampak berubah seperti monster yang siap menerkam. Paras ayu yang selalu dihiasi senyum lembut hilang seketika raib entah kemana.


Hal ini bermula dari dua Minggu  yang lalu. Pasca tiga bulan melahirkan Rara, bayi cantik kami, sikap Hana perlahan-lahan berubah. Dia jadi sering marah-marah tidak jelas. Perasaannya juga lebih sensitif sehingga mudah emosi. Menangis tanpa sebab dan setelah itu dia akan berusaha untuk melukai Rara.


Banyak yang mengatakan dia terkena sindrom baby blues, depresi pasca melahirkan yang sering dialami para ibu, "Tapi apakah seekstrim ini sindrom itu?" ucapku tak habis pikir.


"Istri kamu itu sudah gila, Fandi. Semua orang di gang ini juga udah tau. Mana ada seorang ibu yang membenci anaknya. Anak yang telah susah payah dilahirkannya. Bahkan dia hampir membunuh Rara kalau saja mama tidak berkunjung kerumah kamu siang itu." ujar mama ketika sedang bertamu ke rumah untuk bertemu cucunya.


Aku terdiam mengingat ucapan mama, bagaimana Hana berusaha membekap wajah mungil Rara dengan bantal bayi. Mama yang sedang berkunjung pun langsung menolak tubuh Hana dan meraih Rara kedalam pelukannya.


"Dia bahkan selalu menolak kalau kamu ajak berobat, karena dia memang sudah gila. Sebaiknya kamu ceraikan saja dia,Fandi. Lama-lama kamu tidak akan kuat  menghadapi sikapnya yang tidak waras itu!" pinta mama setengah memaksa.


"Tidak Ma!" tolakku tegas seraya memandang Hana yang sedang tertidur lelap.


*************

" Mbak, titip Rara sebentar ya, saya mau ke toko dulu sebentar!" ucapku pada mbak Mira, tetangga sebelah rumah kami. Sudah biasa bagi wanita berkulit putih itu kutitipkan pesan untuk melihat Rara bila aku sedang keluar sebentar.


Mbak Mira mengangguk pelan, " Kenapa Rara gak dibawa saja?" tanyanya dengan nada khawatir.


"Rara masih tidur mbak sama Hana, saya bawa motor biar cepat. Soalnya udah lama juga gak toko, mau ngecek dulu keadaan toko dan karyawan!" jawabku menjelaskan.


Mbak Mira pun manggut-manggut mengerti. 


"Semoga saja mereka masih tidur sampai aku kembali nanti!" harapku karena jarak antara rumah ke toko juga tidak begitu jauh.


Toko ini sebenarnya milik Hana, berawal dari toko roti kecil-kecilan, dia bisa mengembangkannya menjadi besar dan terkenal. Bahkan sudah memilki dua cabang di kota lain. Sifatnya yang pekerja keras dan mandiri membuat Hana dikenal sebagai sosok wanita yang hebat.


Namun, Hana tidak pernah  melupakan kodratnya sebagai seorang istri. Dia tetap melakukan tugasnya melayaniku dan selalu menghormatiku, suaminya yang hanya seorang supir taksi online.


Sesampainya di toko, aku mengawasi bagian dapur terlebih dahulu. Hana pernah mengajariku bagaimana cara mengetahui bahan-bahan yang berkualitas untuk membuat roti yang enak.


Belum ada satu jam aku berada di toko ini, mbk Mira menelpon hpku dan memintaku segera pulang.


Perasaanku langsung merasa tidak nyaman, sepertinya ada sesuatu yang buruk terjadi. Sepanjang perjalanan bayangan-bayangan aneh tentang Rara dan Hana bermain-main di pikiranku.


Pikiranku ternyata benar, ketika kulihat orang ramai sudah berkerumun di dalam rumah.


"Permisi pak, betul bapak suaminya Bu Hana?' tiba-tiba dua orang polisi datang menghampiriku yang masih berdiri terpaku di halaman rumah.


Tubuhku langsung merasa gemetar, jantungku berdegup tak karuan, dengan gugup aku mengangguk pelan, " Betul pak!" 


"Kami mendapat laporan dari seseorang melalui telp yang mengatakan bahwa ada pembunuhan di rumah ini,"


"Pembunuhan?" seruku kaget 


"Benar pak, setelah kami mengecek akan kebenaran laporan tersebut, ternyata memang terjadi pembunuhan dengan korban seorang bayi perempuan berusia tiga bulan."


Tubuhku langsung terduduk lemas diatas tanah. Hatiku yang merasa sakit membuat airmataku langsung tumpah begitu saja.


"Rara, Rara anak papa!" jeritku memanggil putri kecilku itu.


Salah seorang pak polisi memapahku untuk membantuku berdiri, dengan tangan kanannya yang menggenggam pundakku, dia menuntunku masuk ke dalam rumah.


"Rara!" pekikku menghambur ke tubuh anakku yang sudah kaku membiru.


Tampak Hana yang duduk terdiam tanpa ekspresi. Pandangannya kosong menatap kearah Rara.


"Aku tidak membunuhnya mas, bukan aku yang membunuh Rara!" seperti orang yang kehilangan kesadaran Hana terus-menerus mengucapkan kalimat itu.


"Untuk pemeriksaan sementara, nanti kami akan membawa Bu Hana untuk dimintai keterangan!" ujar pak polisi yang menuntunku tadi.


"Apa pak? kenapa istri saya dibawa pak?" tanyaku kaget.


"Untuk pemeriksaan saja pak, apalagi kami menemukan Bu Hana sedang memegang bantal bayi, berdiri di dekat box anak bapak yang sudah tidak bernyawa."


Tangisku makin pecah, begitu berat ujian yang kurasakan saat ini. Hanya sebentar aku pergi meninggalkan bayi kecilku. Namun, dia malah pergi lama dan tidak akan kembali.


Ini semua salahku, kenapa aku meninggalkan Rara bersama Hana dengan kondisinya yang seperti ini, " Maafkan papa, Sayang!" Desisku pilu.


Setelah pemakaman Rara selesai, Hana pun menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Selama menjalani proses pemeriksaan pikirannya semakin kacau. Dia tidak mengingat apapun sama sekali. Terkadang dia akan menjerit ketakutan seperti melihat sesuatu yang mengerikan, atau dia akan menangis sambil memeluk bantal.


Melihat kondisi Hana, polisi akhirnya tidak tega untuk mengurungnya dalam penjara, sebagai gantinya dia akan menjalani pengurungan rehabilitasi di rumah sakit jiwa.


Ya, Hana dinyatakan bersalah. Berdasarkan sidik jari ada di bantal bayi, Hana telah membunuh Rara.


***************


Aku duduk sendiri dengan senyum kecil di bibir. Di atas meja terlihat sertifikat rumah dan toko yang sudah berpindah menjadi atas namaku. Di sebelahnya terdapat selembar surat resmi bercerai dari pengadilan yang berisi namaku, Fandi Aryo dan Hana Yuliana, istriku.


Tawaku seketika membahana memecah keheningan, begitu mudah rencana yang kubuat dan kujalankan. Resep obat vitamin untuk pemulihan hana pasca melahirkan kuganti menjadi obat yang dapat menyebabkan halusinasi. Awalnya hanya dosis kecil yang kuberikan, setelah itu naik menjadi dosis tinggi.


Keberuntungan juga berpihak padaku karena  Hana selalu menolak tawaran basa-basiku untuk berobat, jadi lebih memudahkanku untuk membuat kondisinya semakin parah.


Sebelum aku berangkat ke toko pagi itu, menggunakan sarung tangan hitam agar tidak meninggalkan jejak, aku membekap Rara terlebih dahulu dengan bantal bayinya. Setelah  yakin bayi itu sudah tidak bernapas lagi, aku pergi dan membiarkan bantal itu masih terletak di atas wajahnya.


Aku juga yang menelpon kantor polisi dan mengatakan adanya dugaan pembunuhan di rumah ini. Pada akhirnya, Sempurna. Semua berjalan sesuai rencana.


"Maafkan aku, Hana. Hal ini kulakukan karena aku menginginkan semua milikmu, juga sebagai pembalasan karena kau telah berselingkuh di belakangku, sehingga memiliki anak dari lelaki itu!" desisku marah


Kuraih hpku yang terletak di atas meja, lalu menghubungi teman wanitaku, yang juga selingkuhanku.


End

Post kembali biar tidak hilang tulisannya

Posting Komentar